بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Saudaraku seiman…
Di bawah
ini terdapat beberapa fatwa ulama tentang hukum aqiqah bagi anak yang
belum diaqiqahi orangtuanya semasa kecil sehingga dewasa, apakah masih
diaqiqahi, apakah boleh mengaqiqahi diri sendiri jika orangtua masih
tidak mampu? ataukah boleh memberikan uang kepada orangtua agar mampu
membeli kambing aqiqah?
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata:
[ إذا لم يعق عنك فعق عن نفسك وإن كنت رجلاً ].
“Jika
belum diaqiqahi atasmu, maka aqiqahkanlah atas dirimu, meskipun
kamuseorang lelaki dewasa.” Lihat Kitab Al Muhalla, 2/204 dan Syarh As
Sunnah, 11/264.
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata:
[ عققت عن نفسي ببختية بعد أن كنت رجلاً ].
“Aku mengaqiqahkan atas diriku dengan seekor onta betina setelah aku dewasa.” Lihat kitab Syarah As Sunnah, 11/264.
ونقل عن الإمام أحمد أنه استحسن إن لم يعق عن الإنسان صغيراً أن يعق عن نفسه كبيراً وقال :[ إن فعله إنسان لم أكرهه ]
Dinukilkan
dari Imam Ahmad bahwasanya ia lebih baik jika belum diaqiqahi seseorang
dimasa kecilnya maka ia mengaqiqahkan atas dirinya ketika dirinya sudah
besar, beliau juga berkata: “Jika dilakukan oleh seseorang maka aku
tidak membencinya.” Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al Mawlud,
(hal. 69 Asy Syamela).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وَإِنْ
لَمْ يَعُقَّ أَصْلًا ، فَبَلَغَ الْغُلَامُ ، وَكَسَبَ ، فَلَا عَقِيقَةَ
عَلَيْهِ . وَسُئِلَ أَحْمَدُ عَنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ ، فَقَالَ :
ذَلِكَ عَلَى الْوَالِدِ . يَعْنِي لَا يَعُقُّ عَنْ نَفْسِهِ ؛ لِأَنَّ
السُّنَّةَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ . وَقَالَ عَطَاءٌ ، وَالْحَسَنُ : يَعُقُّ
عَنْ نَفْسِهِ ؛ لِأَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ عَنْهُ وَلِأَنَّهُ مُرْتَهَنٌ
بِهَا ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُشْرَعَ لَهُ فِكَاكُ نَفْسِهِ . وَلَنَا ،
أَنَّهَا مَشْرُوعَةٌ فِي حَقِّ الْوَالِدِ ، فَلَا يَفْعَلُهَا غَيْرُهُ ،
كَالْأَجْنَبِيِّ ، وَكَصَدَقَةِ الْفِطْرِ .
“Dan
jika belum diaqiqahi sama sekali lalu sang anak mencapai baligh dan
berpenghasilan, maka tidak ada kewajiban aqiqah atasnya. Imam Ahmad
ditanya tentang permasalahan ini, beliau berkata: “(Aqiqah) itu
kewajiban orangtua, maksudnya adalah ia tidak (boleh) mengaqiqahi atas
dirinya, karena menurut sunnah (mewajibkan) dalam hak selainnya.”
Berkata Atha’, Al Hasan: “Ia (boleh) mengaqiqahi atas dirinya, karena
aqiqah ini disyariatkan atasnya dank arena ia tergadaikan dengannya,
maka semestinya ia menyegerakan pembebasan dirinya, dan menurut kami,
bahwa aqiqah adalah disayriatkan pada kewajiban irangtua maka tidak
boleh mengerjakannya selainnya, seperti orang lain dan seperti sedekah
fitr.” Lihat Al Mughnni, (22/7 Asy Syamela).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata:
"
الفصل التاسع عشر : حكم من لم يعق عنه أبواه هل يعق عن نفسه إذا بلغ ، قال
الخلال : باب ما يستحب لمن لم يعق عنه صغيرا أن يعق عن نفسه كبيرا ، ثم
ذكر من مسائل إسماعيل بن سعيد الشالنجي قال : سألت أحمد عن الرجل يخبره
والده أنه لم يعق عنه ، هل يعق عن نفسه ؟ قال : ذلك على الأب .
“Pasal
ke 19: Hukum siapa yang belum diaqiqahi atasnya kedua orantunya, apakah
ia mengaqiqahi dirinya jika sudah baligh, berkata Al Khallal: “Bab
Anjuran bagi siapa yang belum diaqiqahi atasnya semasa kecil, maka ia
boleh mengaqiqahi atas dirinya sendiriketika dewasa. Kemudian ia
menyebutkan pertanyan-pertanyaan Isma’il bin Sa’id Asy Syalinji, ia
berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang
orangtuanya memberitahukkannya kepadanya bahwa ia belum diaqiqahi,
apakah boleh untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri? Beliau menjawab:
“(Aqiqah) itu kewajiban bapak. Lihat kitab Tuhfat Al Mawdud Bi Ahkam Al
Mawlud, (hal. 80 Asy Syamela).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
"
والقول الأول أظهر ، وهو أنه يستحب أن يعق عن نفسه ؛ لأن العقيقة سنة
مؤكدة ، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا استطاع ؛ ذلك لعموم
الأحاديث ومنها : قوله صلى الله عليه وسلم : (كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح
عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى) أخرجه الإمام أحمد ، وأصحاب السنن عن سمرة بن
جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح ، ومنها : حديث أم كرز الكعبية عن النبي صلى
الله عليه وسلم: أنه أمر أن يُعق عن الغلام بشاتين وعن الأنثى شاة أخرجه
الخمسة ، وخرج الترمذي وصحح مثله عن عائشة , وهذا لم يوجه إلى الأب فيعم
الولد والأم وغيرهما من أقارب المولود " انتهى من "مجموع فتاوى الشيخ ابن
باز" (26/266) .
“Dan
pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu dianjurkan ia mengaqiqahi
dirinya, karena aqiqah adalah sunnah muakkadah dan orangtuanya telah
meninggalkannya, maka disyariatkan kepadanya agar melakukan jika ia
mampu, yang demikian itu berdasarkan keumuman beberapa hadits,
diantaranya; Sabda RAsululah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Setiap anak
tergadaokan dengan aqiqahnya, disembelih atasnya (hewan aqiqahnya) pada
hari ke tujuhnya, dgunduli kepalanya dan memberikan nama.” HR. Ahmad dan
para penulis kitab Sunan, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu
dengan sanad yang shahih. Dan termasuk diantaranya; hadits Ummu Al Kurz
Al Ka’biyyah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “
beliau memerintahkan anak lelaki agar diaqiqahi dengan dua ekor kambing
dan anak perempuan agar diaqiqahi dengan satu ekor kambing.” HR. Imam
yang lima dan Tirmidzi menshahihkan riwayat yang semisal yaitu dari
riwayat Aisyah dan hadits ini tidak ditujukan kepada siapa-siapa, maka
berarti mencakup anak, ibu dan selain keduanya dari para kearabat anak
yang terlahir tersebut.” Lihat kitab Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Baz,
(26/266).
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin rahimahullah berkata:
وذهب بعضهم إلى أن الطفل إذا بلغ سن الرشد سقطت في حقه، ويرى بعض العلماء أنه يعق عن نفسه، ولم يثبت في ذلك دليل صحيح
“Sebagian
ulama berpendapat bahwa anak jika sudah mencapai umur rusyd (dewasa)
maka gugur (aqiqah) pada haknya dan sebagian ulama nerpendapat bahwa ia
mengaqiqahi dirinya sendiri dan belum tetap dalam hal itu satu dalil
shahihpun.” Lihat di http://ar.islamway.net/fatwa/29698
Syeikh Al Fauzan hafizhahullah berkata:
وإذا لم يفعلها الوالد فقد ترك سنة، وإذا لم يعق عنه والده وعق عن نفسه فلا بأس بذلك فيما أرى، والله أعلم .
“…Jika
orangtua mengerjakannya (aqiqah) maka sungguh ia telah meninggalkan
sunnah dan jika orangtuanya belum mengaqiqahinya kemudian ia mengaqiqahi
dirinya sendiri, maka hal itu tidak mengapa, sepenglihatan saya,
wallahu a’lam.” Lihat kitab Al Muntaqa min Fatawa Al Fawzan, (5/84 Asy
Syameal).
Syeikh Al Fawzan hafizhahullah berkata:
الأفضل
يوم سابعه، هذا هو الأفضل المنصوص عليه، فإن تأخرت عن ذلك فلا بأس بذلك
ولا حد لآخر وقتها إلا أن بعض أهل العلم يقول : إذا كبر المولود يفوت
وقتها، فلا يرى العقيقة عن الكبير، والجمهور على أنه لا مانع من ذلك حتى
ولو كبر
“Yang
utama (aqiqah) dilakukan pada hari ke tujuhnya, ini adalah paling utama
yang telah ditegaskan atasnya, maka jika terlambat dari itu tidak
mengapa, dan tidak ada batasan untuk akhir waktunya kecuali sebagian
para ulama berkata: Jika anak yang lahir sudah besar maka waktu
aqiqahnya sudah lewat, maka tidak dianjurkan untuk melakukan aqiqah atas
seorang yang sudah besar. Dan (sedangkan) mayoritas ulama berpendapat
bahwa tidak ada larangan untuk itu meskipun sudah besar.” Lihat kitab Al
Muntaqa min Fatawa Al Fawzan, (4/84 Asy Syamela).
Berdasarkan
apa yang sudah dijelaskan, maka tidak mengapa ia mengaqiqahi dirinya
sendiri ketika sudah besar, jika ia belum diaqiqahi pada masa kecil.
Wallahu a’lam
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Sabtu, 11 Jumadal Ula 1434H, Dammam KSA.
0 Response to "Fatwa Ulama Aqiqah Ketika Dewasa"
Posting Komentar